Asal mula bahasa pada spesies manusia
telah menjadi topik yang didiskusikan oleh para ilmuwan selama beberapa abad.
Walaupun begitu, tidak ada konsensus mengenai asal atau waktu awalnya. Salah
satu masalah yang membuat topik tersebut sangat susah untuk dipelajari adalah
tidak adanya bukti langsung yang kuat, karena tidak ada bahasa atau bahkan
kemampuan untuk memproduksinya menjadi fosil. Akibatnya para ahli yang ingin
meneliti asal mula bahasa harus mengambil kesimpulan dari bukti-bukti jenis
lainnya seperti catatan fosil-fosil atau dari bukti arkeologis,
dari keberagaman bahasa zaman sekarang, dari penelitian akuisisi
bahasa, dan dari perbandingan antara bahasa manusia dan
sistem komunikasi di antara hewan-hewan, terutama primata-primata
lainnya. Secara umum disepakati bahwa asal mula bahasa sangat dekat dengan
asal mula dari perilaku modern manusia, tapi hanya sedikit
kesepakatan tentang implikasi-implikasi dan pengarahan dari keterkaitan
tersebut.
Fakta bahwa bukti empiris sangat terbatas, telah membuat banyak ilmuwan
menganggap semua topik secara keseluruhan tidak cocok untuk dipelajari secara
serius. Pada tahun 1866, Linguistic Society of Paris
sampai melarang debat mengenai subjek tersebut, sebuah larangan yang masih
tetap berpengaruh di antara dunia barat sampai akhir abad 20. [1]
Sekarang, ada banyak hipotesis mengenai bagaimana, kenapa, kapan dan di mana
bahasa mungkin pertama kali muncul. [2]
Tampaknya tidak begitu banyak kesepakatan pada saat sekarang dibandingkan
seratus tahun lalu, saat teori evolusi Charles
Darwin lewat seleksi alam-nya menimbulkan banyak spekulasi mengenai
topik ini. [3]
Sejak awal 1990-an, sejumlah ahli linguis, arkeologis, psikologis,
antropolog,
dan ilmuwan profesional lainnya telah mencoba untuk menelaah dengan metoda baru
apa yang mereka mulai pertimbangkan sebagai permasalahan tersulit dalam
sains
Sejarah Awal Mula
Bahasa Indonesia
Dewasa ini, bangsa Melanesia menggunakan
bahasa Indonesia, sebagaimana bahasa ini adalah “bahasa pemersatu”, yang
mendapat tempat utama dalam media komunikasi formal, baik sebagai bahasa teks
maupun lisan, disekolah, perkantoran dan tentu saja pada media cetak dan
elektronik.
Memang ada sisi baiknya, bahwa ‘bahasa
Indonesia’ memainkan peran penting sebagai “jembatan” komunikasi menerobos
diversitas linguistik yang berbeda satu sama lain (termasuk di Papua), dan
memungkinkan para penuturnya menjangkau dunia pendidikan modern. Namun mesti
disadari pula akan sisi buruknya, terutama bahwa ‘bahasa Indonesia’ menjadi
dominan sehingga bahasa-bahasa lain keumgkinan akan tersisihkan. Entah bahasa
Batak, Jawa, Bali dan termasuk 250 bahasa etnis Melanesia di tanah Papua.
Padahal Bahasa Indonesia baru digunakan secara serius sejak 1950 di Papua oleh
para pendakwah dan pejabat kolonial dalam rangka ‘menyatukan’ wilayah Papua
dengan wilayah Hindia Belanda lainnya. Hal ini seiring dengan kebijakan
diskriminasi kolonial Belanda yang hanya memperbolehkan bahasa Belanda
diajarkan pada garis keturunan tertentu saja.
Apabila menenggok lebih jauh ke masa
sebelumnya, maka bangsa Melanesia sebenarnya belum cukup dikenal para
nasionalis Indonesia, selain sebagai koloni Belanda yang dalam banyak hal tidak
terlibat langsung dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Diluar itu, wilayah ini
cukup terisolir dari koloni Belanda di sebelah barat, kecuali wilayah pesisir
utara yang menjalin hubungan dagang tradisional dengan Maluku. Selebihnya hanya
bayang-bayang penjara besar – Boven Digul, di tengah sebagian besar masyarakat
yang masih hidup di zaman batu (Benedict Andersson: 2002)
Ini berarti bangsa Melanesia, tidak
terlibat dalam beberapa proses sejarah penting, terkait dengan penggunaan
bahasa Indonesia. Pertama, saat bahasa Indonesia dipermaklumkan sebagai bahasa
persatuan pada Sumpah Pemuda 1928, tidak ada yang mewakili bangsa Papua dalam
peristiwa tersebut, kedua, saat bahasa Indonesia dianjurkan semasa pendudukan
Jepang untuk menggusur bahasa Belanda, hal itu tidak terjadi di Papua, apalagi
karena pertimbangan militer dan kondisi sosial politik waktu itu, Jepang
membagi Hindia Belanda menjadi tiga wilayah koloni terpisah, dan Papua berada
dibawah Angkatan Laut yang berpusat di Makasar, ketiga, saat bahasa Indonesia
dipergunakan sebagai wahana perlawanan menyerang kolonialisme yang dipuncaki
proklamasi kemerdekaan RI 1945, justru bangsa Papua belum ‘mengenal’ NKRI.
Dari tiga fakta ini, bisa dibilang bahasa
Indonesia adalah produk historis yang dalam prosesnya tidak sepenuhnya
melibatkan bangsa Melanesia. Barulah pada tahun 1963 ketika Orde Lama
mencanangkan operasi Trikora, dan disusul pelaksanaan Pepera semasa Orde Baru
tahun 1969 bahasa Indonesia mulai dijadikan ‘bahasa resmi’ di Papua.
Bahasa Indonesia
adalah bahasa resmi Republik Indonesia yang sebagaimana disebutkan dalam
Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36. Ia juga merupakan bahasa persatuan
bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Meski demikian, ia hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia yang
benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu karena dalam percakapan
sehari-hari yang tidak resmi masyarakat Indonesia lebih suka menggunakan bahasa
daerahnya masing-masing sebagai bahasa ibu seperti bahasa Melayu pasar, bahasa
Jawa, bahasa Sunda, dll. Untuk sebagian besar lainnya bahasa Indonesia adalah
bahasa kedua dan untuk taraf resmi bahasa Indonesia adalah bahasa pertama.
Bahasa Indonesia ialah sebuah dialek bahasa Melayu yang menjadi bahasa resmi
Republik Indonesia Kata “Indonesia” berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu
Indos yang berarti “India” dan nesos yang berarti “pulau”. Jadi kata Indonesia
berarti kepulauan India, atau kepulauan yang berada di wilayah India
Bahasa Indonesia diresmikan pada
kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1945. Bahasa Indonesia merupakan bahasa
dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui
penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia
adalah dialek baku dari bahasa Melayu yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau
sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia
I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, “jang dinamakan ‘Bahasa Indonesia’ jaitoe
bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari ‘Melajoe Riaoe’, akan
tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean
zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di
seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa
Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah
alam kebangsaan Indonesia”. atau sebagaimana diungkapkan dalam Kongres Bahasa
Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra Utara, “…bahwa asal bahasa Indonesia ialah
bahasa Melaju. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju jang disesuaikan
dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia”.
Secara sejarah,
bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek temporal dari bahasa Melayu yang
struktur maupun khazanahnya sebagian besar masih sama atau mirip dengan
dialek-dialek temporal terdahulu seperti bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu
Kuno. Secara sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa bahasa Indonesia baru
dianggap “lahir” atau diterima keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928.
Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi
diakui keberadaannya.
Fonologi dan tata bahasa dari bahasa
Indonesia cukuplah mudah. Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat
dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. Bahasa Indonesia merupakan
bahasa yang digunakan sebagai penghantar pendidikan di perguruan-perguruan di
Indonesia.
Bahasa Melayu di Indonesia kemudian
digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum
banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Biasanya masih digunakan bahasa
daerah (yang jumlahnya bisa sampai sebanyak 360).
Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai
jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di
sana, pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia pascakemerdekaan. Soekarno
tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas
pada saat itu), namun beliau memilih Bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari
Bahasa Melayu yang dituturkan di Riau.
Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku
bangsa atau puak lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa
yang merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia.
Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan
Bahasa Melayu Pontianak, atau Banjarmasin, atau Samarinda, atau Maluku, atau
Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu
berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhirpun lari ke Riau selepas Malaka
direbut oleh Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang
paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Tionghoa Hokkien, Tio Ciu,
Ke, ataupun dari bahasa lainnya.
Pengguna bahasa Melayu bukan hanya
terbatas di Republik Indonesia. Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain
Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih
dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan
Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara
jiran di Asia Tenggara.
Dengan memilih Bahasa Melayu Riau, para
pejuang kemerdekaan bersatu lagi seperti pada masa Islam berkembang di
Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan.Bahasa
Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi
dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah dilakukan
pada zaman Penjajahan Jepang.
Begitulah Awal Mula Bahasa
Indonesia yang dapat awalmula.com
rangkum dari berbagai sumber, semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan
kita seputar sejarah
asal usul bahasa Indonesia.
Perkembangan Bahasa
Sesuai dengan fungsinya,bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh
seseorang dalam pergaulannya atau hubungannya dengan orang lain. Bahasa
merupakan alat bergaul. Oleh karena itu, penggunaan bahasa menjadi efektif
sejak seorang individu memerlukan berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa
diperlukan sejak manusia bayi dan mulai berkomunikasi dengan orang lain.Perkembangan bahasa terkait dengan perkembangan kognitif, yang bebrarti faktor intelek sangat berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan berbahasa. Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh lingkungan, karena bahasa pada dasarnya merupakan hasil belajar dari lingkungan. Anak (bayi) belajar bahasa seperti halnya belajar hal lain, meniru dan mengulang kata yang diucapkan oleh orang lain yang merupakan cara belajar bahasa awal pada bayi. Manusia dewasa (terutama ibunya) di sekelilingnya membetulkan dan memperjelas kata-kata yang salah. Belajar bahasa yang sebenarnya baru dilakukan oleh anak berusia 6 - 7 tahun, di saat anak mulai bersekolah.
Bahasa remaja adalah bahasa yang telah berkembang. Anak remaja telah banyak belajar dari lingkungan. Dengan demikian bahasa remaja terbentuk dari kondisi lingkungan. Lingkunga remaja encakup lingkungan keluarga, masyarakat, dan khususnya pergaulanteman sebaya dan lingkungan sekolah. Pola bahasa yang dimiliki adalah bahasa yang berkembang di dalam keluarga atau bahasa ibu.
Perkembangan bahasa remaja dilengkapi dan diperkaya oleh lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal. Bersamaan dengan kehidupannya di dalam masyarakat luas, anak(remaja) mengikuti proses belajar di sekolah. Pengaruh pergaulan di dalam masyarakat terkadang sangat menonjol, sehingga bahasa anak (remaja) menjadi lebih diwarnai pola bahasa pergaulan yang berkembang di dalam kelompok teman sebaya.
Pengaruh lingkungan yang berbeda antara keluarga, masyarakat, dan sekolah dalam perkembangan bahasa akan menyebabkan perbedaan antara anak yang satu dengan yang lain. Hal ini ditunjukkan dengan pemilihan dan penggunaan kosa kata sesuai dengan tingkat sosial keluarganya. Keluarga dari masyarakat lapisan berpendidikan rendah atau buta huruf akan banyak menggunakan bahasa pasar, bahasa sembarangan, dengan istilah-istilah yang kasar. Masyarakat yang terdidik yang pada umumnya memiliki status sosial yang baik, akan menggunakan istilah-istilah yang lebih efektif, dan pada umunya anak-anak remajanya juga juga berbahasa secara lebih baik.
Bebahasa terkait erat dengan kondisi pergaulan. Oleh karena itu, perkembangannya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pada perkembangan bahasa terdapat 2 faktor yang mempengaruhinya yaitu faktor biologis dan faktor lingkungan .
1. Faktor Biologis
Ada beberapa komponen dalam membahas faktor biologis di perkembangan bahasa, di antaranya:
Evolusi biologis, Ikatan biologis, Peranan otak, Bahasa binatang, dan Masa kritis belajar bahasa.
- Evolusi Biologis
- Ikatan Bilogis
- Peranan Otak dalam Perkembangan Bahasa
- Apakah Binatang Memiliki Bahasa?
- Periode Kritis Belajar Bahasa
Dengan kejadian ini kita tahu bahwa mengajarkan bahasa pada anak harus dari usia dini, dan tidak hanya melihat dari faktor biologis saja, tetapi harus melihat faktor lingkungan, karena merupakan faktor penting dalam pengembangan bahasa.
2. Faktor Lingkungan
Seperti kita tahu bahwa dalam belajar bahasa kita tidak dapat melakukan dalam keadaan sepi tetapi kita membutuhkan interaksi dengan orang lain. Terdapat beberapa hal yang penting dalam perkembangan bahasa yaitu perubahan kultural dan konteks sosiokultural bahasa, dukungan terhadap bahasa dan pandangan behavioral.
- Perubahan Kultural dan Konteks Sosiokultural Bahasa
- Dukungan Sosial untuk Perkembangan Bahasa
a) Motherese yaitu cara seorang ibu dalam berkomunikasi dengan bayi, serta dengan kata-kata dan kalimat yang sederhana. Motherese sulit dilakukan tanpa adanya bayi, tetapi motherese mempunyai peranan penting dalam mempermudah perkembangan bahasa anak sejak usia dini.
b) Recasting yaitu membuat frase yang sama dari suatu kalimat dengan cara berbeda, mungkin dengan cara mengemukakannya dalam pertanyaan,
c) Echoing yaitu mengulangi apa yang akan dikatakan kepada kita, terutama jika kata-kata tersebut belum benar.
d) Expanding yaitu menyatakan kembali apa yang anak telah katakan kepada kita dengan linguistik yang lebih baik.
Orang tua dan guru merupakan komponen penting dalam perkembangan bahasa anak,karena peranannya sebagai model bahasa dan pengoreksi atas kesalahan anak. Jadi apabila orang tua dan guru dapat berperan aktif , maka anak akan mengalami perkembangan bahasa yang positif.
Perkembangan bahasa yeng menggunakan model pengekspresian secara mandiri, baik lisan maupun tertulis dengan mendasarkan pada bahan bacaan akan lebih mengembangkan kemampuan bahasa anak dan membentuk pola bahasa masing-masing. Dalam penggunaan model ini guru harus banyak memberikan rangsangan dan koreksi dalam bentuk diskusi atau komunikasi bebas.Selain itu, sarana perkembangan bahasa seperti buku-buku, surat kabar, majalah, dan lain-lain hendaknyadisediakan di sekolah maupun di rumah.